Ika Land's

Ika Land's
Right Now

Sabtu, 12 Maret 2011

Happiness Part 1

Aku memasang wajah setenang mungkin. Dengan hati berdebar aku menunggu giliran namaku di panggil. Walaupun tegang namun aku berusaha sekuat mungkin untuk tetap terlihat biasa-biasa saja. Ku lirik dia yang juga duduk di sebelahku.
Ekspresinya dingin, amat dingin. Dia hanya memandang lurus kedepan. Setelan jas hitamnya seakan-akan menambah tampilan dinginnya menjadi semakin kuat.
“Ny. dan Tn. Yoon diharap maju kedepan.” begitulah kira-kira nama kami dipanggil. Karena sudah terlalu tegang aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan menyempatkan diri untuk melirik lagi ke arahnya tapi dia sama sekali tidak melihatku.
Dia berjalan kedepan di dampingi dengan pengacaranya, sama halnya denganku. Kami berdua duduk bersebrangan, dia di sudut kanan ruangan sedangkan aku disudut kiri.
“Baiklah, selamat siang para hadirin. Mohon maaf atas semua keterlambatannya namun sidang sudah bisa kita mulai sekarang. Kepada penggugat, kami persilahkan untuk mengajukan hal-hal yang menurut Anda perlu diajukan.” ujar pak Hakim.
Aku berdiri walaupun tanganku tetap berpegangan pada pinggir-pinggir meja.
“Selamat siang. Ehm… Siang ini saya, Kim Hyoyeon, mengajukan gugatan cerai pada suami saya, Yoon Dojoon.” aku meliriknya lagi tapi tetap saja ekspresinya masih bertahan seperti tadi.
“Gugatan yang saya ajukan berdasarkan atas sudah tidak terdapatnya persamaan dan kecocokan di antara kami.” aku kembali duduk setelah selesai membacakan gugatanku.
“Hanya itu?” tanya Hakim lagi.
“Ya, hanya itu.” jawabku pelan.
“Apa kah Anda tidak mau memikirkan ulang mengenai keputusan ini?”
“Saya rasa keputusan saya sudah bulat, pak Hakim.” jawabku tegas.
“Baiklah. Kepada pihak yang digugat harap mengutarakan pendapat Anda mengenai perihal ini.”
Alih-alih dia yang berdiri malah pengacaranya yang berdiri dan menanggapi gugatanku.
“Klien saya tidak berkomentar apa-apa. Beliau hanya menyerahkan semua keputusan pada pak Hakim dan pihak penggugat.”
Apa? Dia bahkan tidak mengiyakan atau menolak? Dia tidak memberikan respon apapun?
“Kalau begitu, sidang hari ini kita akhiri disini. Untuk keputusan lebih lanjut akan kita adakan di sidang selanjutnya 1 bulan lagi.” ujar Hakim dan mengetok pau sebanyak 3 kali. Aku berjalan lemas keluar didampingi oleh pengacaraku.
“Ny. Yoon! Bisa kita bicara sebentar?” tanya Hakim yang tadi. Aku menatapnya heran namun aku menyanggupi permintaannya tadi.
Dia mengajakku masuk ke ruangannya dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Dojoon sudah ada disana. Dia juga nampak kaget tapi dengan gampang berhasil menguasai ekspresinya kembali dingin.
“Alasan saya mengajak Anda kesini adalah…” katanya setelah kami semua duduk berhadapan. “…saya merasa Anda berdua terlalu gampang menyerah dalam pernikahan. Apa Anda berdua yakin tidak ingin mempertahankan atau memperbaiki rumah tangga kalian? Terutama Anda, Doojoon-ssi. Dari awal Anda tidak pernah mengatakan apa-apa. Bisakah saya mendengar pendapat Anda pribadi mengenai hal ini?”
Aku menatap Dojoon dengan lama, berharap setidaknya dia mengatakan 1 kata saja. Dia mengangkat wajahnya tapi tidak menatapku. Ya Tuhan! Dari samping aku bisa melihat matanya memerah.
“Saya rasa saya tidak perlu menyanggah apa-apa. Jika menurutnya ini yang terbaik, saya harus menerimanya.” jawabnya pelan.
“Bagaimana menurut Anda sendiri, Hyoyeon-ssi?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Sesaat aku ragu, apakah yang kuputuskan ini benar?
“Saya…”
“…”
“…saya rasa saya sudah mengambil keputusan yang terbaik.” jawabku.
“Saya masih bisa melihat keraguan yang kuat dari diri Anda berdua. Anda berdua masih muda, ego dan emosi kalian memang bisa menjadi momok yang menakutkan dan berakibat fatal. Dan saya mohon Anda mengingat hal ini, Anda berdua sudah memiliki seorang putri. Setidaknya Anda bisa memikirkan hal ini lagi, bukan hanya untuk Anda berdua saja melainkan untuk putri Anda. Apa Anda tidak merasa kasihan dengan nasib putri Anda nantinya?”
Aku hanya bisa menunduk. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahku panas, mataku perih, tanganku bergetar dan tubuhku serasa lemas.
Perlahan Doojoon menggenggam tanganku secara lembut namun buru-buru kutangkis. Aku tidak mau goyah! Ini adalah keputusan yang sudah kupikirkan sejak berbulan-bulan lalu.
“Saya mohon Anda berdua bisa menimbang-nimbang kembali kata-kata saya barusan. Kalau begitu sampai jumpa bulan depan walaupun saya tidak harap bertemu dengan Anda berdua lagi setelah ini.” ujarnya sopan kemudian kami berjabat tangan dan meninggalkan ruangan tadi.
“Kenapa kau tidak berkata apa-apa?” tanyaku dingin setelah berada diluar.
“Kau mau aku berkata apa? Kau mau aku bilang ‘saya juga ingin cerai’?” balasnya tak kalah dingin.
“Setidaknya kau berkata satu kata saja! Kau membuatku seperti orang bodoh di dalam sana!”
“Kau tahu kan kalau aku tidak mau bercerai! Ini semua kehendakmu jadi kenapa aku harus repot-repot mencari alasan untuk bercerai?” jawabnya tak kalah keras.
“Kenapa kau susah sekali? Kita sudah tidak cocok jadi untuk apa lagi bertahan?”
“Kau tanya kenapa aku bertahan? Kau tanya kenapa aku susah untuk menceraikanmu? Aku sedang mempertahankan keluarga kita! Apa kau tidak mengerti?” bentaknya. Selama 5 tahun menikah baru kali ini dia membentakku dengan keras. Doojoon yang kutahu tidak seperti ini, tidak seperti perilakunya hari ini.
“Apa kau tidak pernah memikirkan perasaanku? Memikirkan perasaan Yoojin? Perasaan orang tua kita? Semudah inikah kau memutuskan untuk bercerai? Apa yang ada di otakmu, Kim Hyoyeon? Aah!!” dia berseru kencang dan berjalan meninggalkanku.
“Asal kau tahu, sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyetujui perceraian ini!” dia berteriak dari jauh.
Perlahan aku merosot dan terduduk di lantai. Seluruh kekuatan yang kusimpan selama berbulan-bulan lalu terasa lenyap begitu saja. Air mataku jatuh karena emosiku meluap.
Tuhan, apa memang kau tidak merestui jalan yang kupilih sekarang? Kenapa terasa begitu sulit?
***
Hari sudah gelap ketika aku sampai di rumah. Rumah besar ini terasa begitu sepi dan kosong. Sepertinya semua orang sudah tidur.
Aku berjalan ke lantai atas dan mengecek kamar dan ruang kerja Doojoon, kosong. Tandanya dia menginap di kantor lagi malam ini.
Kemudian aku berjalan menuju kamar Yoojin yang berada di ujung. Kubuka pintunya dengan pelan karena takut membangunkannya.
Dia sudah tertidur pulas di ranjangnya. Disamping ranjang terlihat kakakku Taeyeon terbaring pulas.
“Onnie.” aku menyentuh pundaknya berharap dia terbangun.
“Oh? Hyoyeon-ie? Kau sudah pulang?” ujarnya pelan sambil mengusap-usap matanya.
“Ehm. Onnie lebih baik tidur di kamar saja, biar aku yang jaga Yoojin disini.”
“Baiklah. Tapi kau sudah makan? Mau kupanaskan lauk?”
“Annyio, tidak perlu. Aku mau langsung tidur.”
“Kalau begitu aku ke kamarku dulu, kalau perlu apa-apa panggil saja aku ya.” Aku mengangguk dan diapun menutup pintu kamar.
Kuletakkan kepalaku di pinggir kasur dan kubenamkan wajahku.
“Eotekke? Apa yang harus ku lakukan? Apa yang harus kuperbuat? Yoojin-ah, tolong ibu! Beritahu ibu apa yang harus ibu lakukan.” entah sudah gila atau apa aku terus menangis. Aku…aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
***
Taeyeon’s POV
Aku mendengar tangisan Hyoyeon, benar-benar mengiris hatiku. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk mengurangi rasa sakitnya. Sebagai kakak aku merasa benar-benar tidak berguna. Ya Tuhan, hentikanlah cobaan yang Kau berikan untuk adikku.
Hyoyeon-ah, tegarlah!
***
Doojoon’s POV
Malam ini aku kembali tidur di kantorku. Aku benar-benar benci keadaan seperti ini. Aku ingin keadaan kembali seperti dulu lagi, kembali disaat 5 tahun yang lalu dimana setiap malam aku tidur di sampingnya, memeluknya. Keadaan dimana setiap aku membuka mata hal yang pertama kulihat adalah dirinya.
Aku rindu mencium harum wangi aroma tubuhnya, melihat senyumnya yang seperti anak-anak, mendengar ocehan tiap pagi yang sudah pasti akan membangunkanku dari mimpi buruk dan membawaku ke dunia yang begitu indah.
Tapi apa semua itu tidak dapat kembali lagi? Apa semua itu sekarang hanya tinggal kenangan? Apa aku…tidak bisa merasakan apa yang mereka sebut bahagia?

-TBC-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar