Ika Land's

Ika Land's
Right Now

Kamis, 17 Maret 2011

Song for My Juliette~~~

lagi.lagi.lagi dan lagi, aku bikin cerpen :D

Juliette hoo~
Jonghyun bersenandung pelan sambil menuliskan kata-kata di beberapa kertas yang ada di hadapannya. Petikan gitar yang bersenandung indah membuat suasana di dalam ruangan itu menjadi romantis.
sarangui serenade
“Aah, akhirnya selesai juga!” Jonghyun merenggangkan kedua tangannya keatas. Setelah kurang lebih dia mengerjakan akhirnya lagu itu selesai juga.
Setelah selesai, dia membereskan peralatannya. Gitar yang dia gunakan untuk menciptakan lagu tadi dia sandang ke punggungnya.
Dia melangkahkan kakinya dengan mantap berjalan di koridor sekolah. Dicarinya sosok yang amat dia harapkan untuk dia temui. Ah! Itu dia.
Tapi… mengapa dia menangis? Apa hal yang membuatnya terlihat amat sedih hingga air mata jatuh ke pipi mulusnya? Jonghyun tidak pernah melepaskan pandangannya dari wanita itu. Dilihatnya dengan seksama mata merah dan pipinya yang mengkilat karena air mata.
Wanita itu bersandar di dinding dan lama kelamaan terus turun dan akhirnya dia terjongkok dan membenamkan wajahnya diantara lekukan lututnya.
Menolehkan kepalanya sedikit, Jonghyun melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan sedang bermesraan tanpa mengetahui ada yang memperhatikan mereka.
Aah… Jonghyun baru sadar! Mungkin itu yang membuat bidadari cantik menangis.. dia melihat kekasihnya selingkuh. Secara perlahan gadis cantik itu bangkit dan berjalan meninggalkan kekasihnya asyik bermesraan bersama wanita lain. Langkahnya tertatih-tatih, sepertinya dia amat terluka. Melihat si gadis beranjak pergi, Jonghyun pun melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu untuk mengikuti sang gadis.
Setelah lelah berjalan, gadis itu duduk di sebuah kursi panjang yang berada di pinggir taman. Kepalanya tertunduk dan sepertinya dia menangis lagi. Dengan modal berani, Jonghyun menghampiri gadis itu dan duduk di sampingnya.
“Kau tidak keberatan aku duduk disini?” tanyanya hati-hati. Gadis tadi nampaknya sedikit kaget akan kehadiran Jonghyun. “Silahkan.” jawabnya sambil memberikan senyum yang amat manis.
“Apa yang membuatmu begitu sedih, Yoona-ssi?” tanya Jonghyun pelan. “Bagaimana kau tahu namaku?” herannya. “Aku rasa mengherankan sekali kau menanyakan hal itu.” jawab Jonghyun, dia bersemangat.
Gadis bernama Yoona tadi tersenyum simpul mendengar perkataan Jonghyun. “Hei, kau membawa gitar.” gadis tadi menunjuk gitar yang disandang Jonghyun dengan mata berbinar.
“Kau bisa bermain gitar?” tanya Jonghyun. Gadis itu menggeleng sambil mengerutkan bibirnya, imut. “Sayangnya aku tidak bisa tapi aku sangat suka melihat orang memainkan gitar.” jawab gadis itu lembut. Kesedihannya tadi seakan raup dari wajahnya.
“Kau mau mendengar permainan gitarku?”
“Dengan senang hati.” jawab Yoona tersenyum. Jonghyun mulai memetik senar gitarnya dengan pelan. Alunan suara yang dihasilkannya sangat indah sehingga mampu membuat seorang Im Yoona berdecak kagum.
Song for my Juliette
ssoda jildeut han dalbit yeoksi eoduwo
teojil deut taneun hwaetbul neodo machangaji geunyeoege bichi naneun beobeul baewoya hae
geunyeol bomyeon nuni meoreobeoril kkeoya
Jonghyun mulai bernyanyi. Dia menatap mata sang gadis impian yang sedang ada dihadapannya.
Juliette! yeonghoneul bachilkkeyo
Juliette! jebal nal bada jwoyo
Juliette! dalkomhi jom deo dalkomhage
soksagyeo naui serenade
sarangui serenade
Jonghyun mengakhiri lagu yang baru saja diciptakannya dan secara kebetulan atau memang ini sudah menjadi takdirnya sang Juliette lah yang mendengarnya untuk pertama kali.
“Waah, lagunya indah sekali …” komen Yoona ketika Jonghyun selesai menyanyi.
“Jonghyun.” sahut Jonghyun buru-buru.
“Ah, mianhae. Lagunya sangat indah, Jonghyun-ssi, begitu pula dengan suaramu. Tapi aku belum pernah mendengar lagu ini sebelumnya.”
“Lagu ini baru saja kuciptakan.” jawab Jonghyun sopan.
“Benarkah? Lagu mengenai Juliette! Pacarmu pasti amat menyukainya.” Yoona terdengar gembira namun wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa perihnya.
“Sayangnya, Yoona-ssi, aku tidak memiliki pacar dan kau tahu? Kau lah orang pertama yang mendengarkan lagu ini.”
“Benarkah? Itu suatu kehormatan untukku, Jonghyun-ssi. Lantas, kapan kau akan membawakan lagu ini lagi?”
“Maksudmu?”
“Maksudku kapan kau akan menyanyikannya di depan orang banyak? Lagu ini sangat bagus, pasti banyak yang menyukainya.” seru Yoona semangat.
“Sayangnya itu tidak akan terjadi, Yoona-ssi.” tolak Jonghyun halus.
“Why?”
“Because this is a song for my juliette.”

-End -

udah ah,,.. nnti lagi :)

Happiness Part 2

uuuft.. udah lama yak rasanya gak update.. -.- #makluum.. sibuk XD
aku mau lanjutin cerita "Happiness" ku aja :D
capcuuuusz --------------------->

7 tahun yang lalu
“Aah! Chinja! Dasar senior goblok! Buat apa dia menyuruhku bawa buku sebanyak ini? Dia pikir aku, AAH!” seorang gadis berkacamata terjatuh dengan buku mengelilinginya.
“Mianhae… Mianhae…” lelaki yang menabraknya tadi buru-buru bangun dan membantu gadis yang ditabraknya tadi untuk berdiri.
“Aish! Kau jalan tidak pakai mat..” kata-katanya terhenti ketika melihat wajah lelaki yang ada didepannya.
“Mianhae. Tadi aku buru-buru jadi tidak terlalu memperhatikan jalanku.” dia membungkukan badannya untuk memungut buku yang berceceran.
“Ah, kacamatamu.” lelaki tadi menunjuk jam tangan pevah yang dipakai gadis tadi.
“Oh? Aah! Eotekke? Kacamataku.. Aish!” rutuknya.
“Mianhae. Bagaimana kalau aku ganti?”
“Tidak perlu!” ujar gadis itu ketus kemudian mengambil buku dari tangan lelaki tadi dengan kasar.
***
“Aah! Bagaimana aku pulang! Aku tidak bisa melihat. Molla! Onnie jemput aku! Yeobseyo? Yeobseyo? Onnie? YA KIM TAEYEON!! Aah!” gadis itu menutup handphonenya dengan keras. Tidak hanya itu, dia juga menendang ban mobilnya.
“Jhogi…”
“WAE?”
“Ehm, kau masih ingat aku?”
“Kau siapa?”
“Aku lelaki yang tadi pagi menabrakmu.”
“Oh.”
“Kau kenapa marah-marah?” tanya pria tadi
“Aku tidak bisa pulang!” jawab gadis itu masih dengan nada ketusnya.
“Wae?”
“Mana bisa aku menyetir tanpa kacamata?” jawabnya ketus. Mendengar kata-kata gadis tadi lelaki itu terkekeh.
“Wae? Ada yang lucu?”
“Annyi. Kalau kau tidak keberatan aku bisa mengantarmu pulang.”
“Meninggalkan mobilku disini? Shiro!”
“Anyyi. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi aku bisa mengantarmu dengan mobilmu. Otte?”
Gadis itu diam sebentar. Dia terlihat menimbang-nimbang perkataan lelaki tadi.
“Baiklah.” dia menjawab singkat dan memberikan kunci mobil kepada lelaki itu.
“Rumahmu dimana?”
“Tidak jauh dari sini.” jawabnya.
“Kita belum berkenalan, aku Yoon Doojoon.”
“Aku Kim Hyoyeon.”
***
2 tahun kemudian
“Hyoyeon-ah, kau benar-benar cantik malam ini.” bisik seorang pria pada kekasihnya.
“Hanya malam ini?” balas gadis bertubuh mungil itu.
“Annyi, sejak kau lahir hingga saat ini kau amat cantik.”
“Apa kau sudah pernah melihatku ketika aku bayi? Pabo!” dia menjitak lembut kening kekasihnya sambil tertawa.
“Hyoyeon-ah…”
“Wae?” jawabnya lembut. Lelaki itu berjongkok sambil mengeluarkan sebuah kotak dari tuksedo yang dikenakannya. “…maukah kau menikah denganku?”
***
Aku terbangun karena kepalaku terhantuk meja. Ah, aku tidur dengan posisi ini lagi. Pinggang serta punggungku terasa sakit, tanganku juga nyeri karena tertekan kepala.
Aku berdiri dan merenggangkan badanku serta berjalan ke arah jendela. Kulihat masih ada banyak kendaraan yang berlalu lalang walaupun tidak seramai siang hari.
Tempat ini, terakhir kali aku berdiri disini setelah aku bertengkar hebat dengan Hyoyeon.
Flashback
Beberapa bulan yang lalu
“Kau kemana saja? Dari tadi aku menelponmu.” katanya pelan namun tatapan matanya menusuk.
“Aku baru saja keluar dari ruangan meeting jadi aku tidak tahu kau dari tadi menelponku.” jawabku pelan dan menghempaskan tubuhku di kursi besar dan melonggarkan sedikit ikatan dasiku.
“Kapan kau pulang?” tanyanya lagi, kali ini melembut.
“Aku tidak tahu, pekerjaanku masih banyak.”
“Kau tahu, pekerjaan tidak akan pernah habis kalau mau dituruti. Yoojin terus menanyakanmu, kau pulang denganku ya.” pintanya.
“Aku tidak bisa. Kalau aku pulang siapa yang akan meng-handle pekerjaan ini?”
“Jadi bagimu pekerjaan lebih penting daripada keluargamu?” tanyanya dingin.
“Aku tidak bilang begitu.”
“Tapi maksud dari kata-katamu begitu.”
“Kau ini sedang bicara apa sih? Aku bekerja juga untuk keluarga kita kan?”
“Aku tahu! Tapi aku dan Yoojin tidak pernah memintamu ‘berkorban’ segini besarnya untuk keluarga kita.” dia menekankan kata ‘berkorban’.
“Terserah kau saja lah!” dia mengambil tas dan mantelnya lalu keluar dari ruang kerjaku.
Aku ingin saja mengejarnya tapi semua pekerjaan yang merupakan tanggung jawabku ini seakan sudah memanggilku untuk menghampiri mereka.
Flashback end
Aku melirik jam tanganku. Sudah jam 8 pagi. Aku merasa malas sekali untuk kerja hari ini. Tubuhku, ah salah, batinku terasa amat lelah. Walaupun sudah tidur tapi nampaknya tidur di kursi bukanlah hal yang cukup.
Tok Tok!
“Hyung, kau mau kubawakan sarapan?” kepala Gikwang muncul dari balik pintu.
“Tidak. Aku mau pulang saja.”
“Pulang?” dia terlihat heran. Aku sendiri juga heran kenapa kata ‘pulang’ tiba-tiba keluar dari mulutku.
Melihatku bengong Gikwang hanya mengangkat bahu dan berkata, “Ya sudah. Salam untuk Hyoyeon noona ya.” Setelah mengatakan hal itu dia menghilang dari balik pintu.
Ya sudahlah, mungkin memang sebaiknya aku pulang.
***
Aku memasukan mobilku ke garasi dan kulihat mobil Hyoyeon masih terparkir disana, sepertinya dia ada di dalam.
Aku masuk ke rumah yang menurutku hawa dan suasananya berbeda dari beberapa bulan yang lalu. Rumah yang besar dan terbilang megah ini seperti rumah tak berpenghuni. Aku naik ke atas dan kamar Yoojinlah yang menjadi tujuan utamaku.
Kuintip dengan menjulurkan kepalaku ke dalam dan kulihat kamarnya sudah bersih dan tidak ada orang. Tentu saja! Yoojin saat ini pasti sedang ada di sekolah (Play Group kalo ada).
Setelah itu aku berlanjut ke ruang kerjaku. Kosong dan tetap rapi. Aku tidak masuk ke ruang itu melainkan berjalan masuk ke kamarku dan Hyoyeon.
Aneh. Kenapa kamar ini juga kosong? Kemana Hyoyeon?
Aku membuka lemariku dan mengambil satu stel piyama karena aku berencana untuk tidur namun sebelumnya aku ingin mandi terlebih dulu karena badanku terasa lengket.
“AAAAAAHHH” suara teriakan keras terdengar dari belakangku. Kubalikkan badanku dan kulihat Hyoyeon yang berbalut handuk tengah menjerit seperti melihat sosok hantu.
“Sedang apa kau disini?” tanyanya dan mundur beberapa langkah.
“Ini rumahku jadi tentu saja aku ada disini.” jawabku singkat.
“Mau apa kau kesini?”
“Hyoyeon-ah, aku lelah. Bisakah kita bicara nanti saja?” ujarku dan berjalan masuk ke kamar mandi.
“Mau apa kau? Jangan mendekat!” ancamnya. Karena aku hendak masuk ke kamar mandi jadi jelas aku berjalan mendekatinya.
“Jika kau sudah lupa aku akan mengingatkanmu! Kita sedang dalam proses perceraian!”
“Hyoyeon-ah, kenapa harus takut? Aku ini masih suamimu dan akan menjadi suami mu untuk selamanya. Aku hanya ingin masuk kamar mannnn…” aku terpeleset ketika berjalan dan secara tidak sengaja menabrak dan menindih tubuhnya.
“Aaaww…” dia meringis kesakitan. Bagaimana tidak? Badannya yang mungil dan hanya berbobot 45 kg-an ini tertindih bedanku yang besarnya 1.5 kali lipat.
“Mianhae.” ujarku dan mengangkat wajahku dari lantai. Tanpa sengaja mata kami bertemu. Aku selalu suka melihat Hyoyeon setelah dia habis mandi. Bukannya pervert tapi wajahnya yang tidak terkena sentuhan make-up amatlah mengagumkan.
Tanpa kusadari wajahku memerah dan tentu saja berubah panas. Pikiranku mengatakan untuk buru-buru berdiri namun nampaknya tubuhku tidak berkata seperti itu.
Kutatap dia lekat-lekat kemudian kudekatkan wajahku ke wajahnya. Semakin dekat… 15cm… 12cm… 9cm… 5cm…
Kurasakan nafasnya yang hangat dan kemudian matanya menutup. Kucium bibirnya dengan lembut dan dia tidak menolak. Nafasnya agak tersengal-sengal namun dia membalas ciumanku.
Setelah agak lama kami melepaskan ciuman kami dan kembali bertatapan. Entah sadar atau apa dia tiba-tiba mendorong tubuhku dan buru-buru berdiri.
“Hyoyeon-ah, kau masih mencintaiku kan?” ujarku pelan. Masih tidak ada jawaban darinya. “Aku tahu kau masih mencintaiku! Kalau tidak mana mungkin kau…”
“Itu hanya ciuman, Yoon Doojoon. Bukan berarti aku mau kembali padamu.” potongnya.
“Kenapa sulit sekali bagimu untuk mengakui bahwa kau masih mencintaiku? Bahwa jauh di dalam lubuk hatimu kau masih ingin memperbaiki rumah tangga kita?” aku menghempaskan tubuhku dan duduk di pinggir kasur.
“Apa kau tidak memikirkan Yoojin? Apa kau mau anak kita tumbuh dengan orang tua yang terpisah?”
“Bukan itu yang aku mau!” dia membalikkan badannya menghadapku. “Semua sudah terlambat. Rumah tangga kita tidak bisa diselamatkan.” ucapnya putus asa.
Kutarik pergelangan tangannya dan kupeluk tubuhnya dengan erat. Meskipun sifatnya saat ini dingin namun tubuhnya tetap hangat, ini lah yang kusuka darinya.
Kutempelkan kepalaku ke perutnya karena posisiku saat ini duduk dan dia berdiri.
“Aku mohon dengan sangat, batalkanlah gugatan ceraimu. Aku masih ingin membina keluarga denganmu, melihat anak-anak kita besar nantinya, memiliki banyak cucu dan menghabiskan sisa hidupku dengan adanya kau disampingku. Kau tahu? Tanpamu aku tidak bisa hidup.” aku berkata dengan air mata yang mengalir deras di pipiku.
Kueratkan lagi pelukanku yang mungkin menyebabkannya sulit utnuk bernafas. Perlahan aku merasa sebuah tangan mengelus kepalaku dengan lembut.
“Benarkah yang kau bilang itu?” tanyanya dengan suara sedikit terisak. Aku melonggarkan pelukanku dan mendongakkan kepalaku. Kulihat dia juga sudah menangis, sama sepertiku.
Aku berdiri dan melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya.
“Aku janji akan menempatkan keluarga sebagai yang utama melebihi pekerjaanku.”
“Aku tidak ingin kau menyia-nyiakan keluarga lagi!” balasnya.
“Aku janji!” kami berdua tersenyum dan kucium lagi bibirnya. Kurasakan air mata mengalir di bibirku. Bukan. Bukan airmata ku melainkan airmatanya.
Kupeluk tubuhnya dengan erat lalu kubisikkan sesuatu, “aku juga ingin memiliki banyak anak.”
“Keke~ Memangnya berapa anak yang kau inginkan?”
“10 lagi.”
“Kau ingin membentuk tim sepak bola?”
“Iya.”
“Lalu?”
“Ayo kita buat anak sekarang.” aku mengedipkan sebelah mataku dan menurunkan handuk yang dipakainya.


-END-

weew.. baru part 2 udh tamat.. ~tungguu cerbung yang lain yak :D

Sabtu, 12 Maret 2011

The Death Girl

Taeyeon yang baru selesai dari schedule mempercepat langkahnya saat berjalan di koridor suatu rumah sakit. Wajahnya terlihat cemas dan mulutnya tak berhenti berdoa.”Hyoyeon? Hoyeon, kau tidak apa?” serunya ketika masuk ke dalam ruangan tempat Hyoyeon dirawat.
“Hush! Dia baru saja tidur!” bisik Tiffany yang segera menghampiri Taeyeon, takut_takut kalau nantinya gadis itu akan ribut-ribut disini.
“Dia tidak apa-apa kan?” tanya Taeyeon setelah tenang.
“Tidak apa-apa, hanya shock dan luka ringan saja.” ucap Tiffany lembut. Taeyeon menghampiri Hyoyeon yang sedang terbaring dengan beberapa selang infus yang ditempelkan di tubuhnya.
Taeyeon menatap nanar Hyoyeon yang sedang tertidur.
“Sepertinya kau benar-benar lelah, lebih baik kita beli sesuatu untukmu.” ajak Sica.
“Kau tunggu disini dulu ya, biar aku belikan kopi dan roti untukmu.” pesan Sica setelah keluar dari kamar pasien. Taeyeon menurut dan duduk di kursi yang ada di depan kamar Hyoyeon dirawat.
Taeyeon termenung dan menatap lantai dengan tatapan kosong.
“Huhuhu….hmm..” terdengar suara isakan dari samping Taeyeon. Taeyeon menolehkan kepalanya sejenak dan dilihatnya seorang wanita berambut panjang sedang menangis dengan kepala tertunduk.
Awalnya Taeyeon berniat mengacuhkannya menangis dan tidak mengganggunya namun wanita itu tidak berhenti menangis dan suara tangisannya benar-benar mengiris hati.
“Ehm.. Kau tidak apa-apa?” tanya Taeyeon pelan, dia berusaha hati-hati.
“Kenapa kau menangis?” tanyanya lagi. Gadis itu tidak menjawab apapun melainkan hanya terus menangis.
“Apa ada keluargamu yang sakit?” tanya Taeyeon lagi tetapi gadis itu masih terus saja menangis. Taeyeon bergerak mendekat ke gadis tersebut dan duduk tepat disebelahnya.
“Sabar ya. Hari ini sahabatku juga masuk rumah sakit karena kecelakaan tadi sore dan aku baru tahu sekarang. Entah sahabat macam apa aku ini.” ujar Taeyeon berusaha menenangkan gadis tersebut sambil mengelus-elus pundaknya.
Gadis itu sama sekali tidak melihat kearahnya dan terus saja menangis. Taeyeon yang merasa iba padanya terus berusaha menenangkannya.
“Taeyeon-ah.” panggil Sica yang baru saja datang.
“Ssst…!” Taeyeon memberi sinyal kepada Sica agar tidak berisik.
“Kau sedang apa?” tanya Sica heran dan Taeyeon sekali lagi memberitahu Sica agar tidak berisik.
“Serius Tae, kau membuatku takut.” Sica memandang Taeyeon ngeri dan mundur beberapa langkah.
“Aku sedang menenangkan orang ini, kasihan dia.” bisik Taeyeon.
“Orang? Orang apa?” Sica memasang tampang herran ke Taeyeon.
“Permisi.” ucap 2 orang suster yang ada di belakang Jessica. Mereka membawa sebuah tempat tidur dorong yang berisi jasad. Tidak sengaja, gelang yang diapaki Jessica terkait disana sehingga berhasil menyingkap kain yang menutupi jasad tersebut.
“Maaf..maaf..”ucap Jessica berulang kali. Taeyeon yang sekarang ada disebelah Jessica hanya diam membatu dan terlihat luar biasa kaget melihat siapa wajah dibalik kain yang tersingkap tadi.
“I…it..itu…” tunjuk Taeyeon pada mayat yang ada di depannya.
“Kenapa, Bu?” tanya salah satu suster.
“Kau kenapa, Tae?” tanya Sica tak kalah heran.
Taeyeon menoleh kebelakang tempat gadis tadi duduk tapi sekarang gadis itu sudah menghilang.
“Orang itu…tadi di…dia..” Taeyeon menunjuk sambil tergugup.
“Kenapa Tae?” tanya Sica.
“Dia…it..itu dia…”
“Tae kau kenapa?” tanya Sica lagi yang sudah mulai panik.
“Orang ini adalah korban bunh diri, dia meninggal tadi siang, Bu.” jelas si suster kepada Taeyeon yang masih menunjuk-nunjuk mayat yang ada di hadapannya.
“Permisi.” ucap kedua suster tadi berlalu dari hadapan Taeyeon.
“Kau kenapa sih?” tanya Jessica pada Taeyeon yang masih nampak shock.
“Sica-ah, or..orang tadi…”
“Siapa? Orang yang meninggal itu?”
“Dia… tadi dia duduk disampingku.” kata Taeyeon penuh takut.
“Apa? Tapi mana mungkin Tae! Dari tadi aku tidak siapa-siapa disampingmu.”
“Tadi dia ada.” Taeyeon berucap pelan.
“Huhuhu…” suara isak tangis itu kembali terdengar. Secara perlahan, Taeyeon menengok kembali kebelakang dan dilihatnya gadis itu menyeringai ke arahnya.


-END-

My Brother’s Girlfriend

Aku bersepeda melewati rute yang sama seperti hari-hari biasanya. Di pertengahan jalan roda sepedaku berhenti di depan sebuah coffee shop. Mengapa aku berhenti disitu? Tidak, aku bukannya ingin membeli coffee tapi aku ingin melihat seorang wanita cantik disana.
Dia adalah barista di toko itu. Namanya Kwon Yuri. Pertama kali aku bertemu dengannya ketika kakakku menyuruhku untuk membelikannya minuman disana. Ketika aku melihat dirinya tersenyum ketika meracik minuman, dari sana lah aku tahu bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Kriiing…
“Yeobseyo?”
“Minho-ah, kau dimana?” sebuah suara cempreng terdengar dari seberang telpon.
“Aku masih di jalan, Noona.”
“Cepat pulang, hari sudah sore.” ujarnya.
“Arasso.” jawabku dan menutup telponnya.
Aah, mungkin sampai disini dulu. Yuri-ah, annyeong.
***
“Kenapa menyuruhku cepat pulang sih?” protesku pada Sooyoung noona.
“Siwon oppa ingin kita berkumpul malam ini, katanya ada tamu yang mau datang.” jawab Sooyoung noona sembari menyiapkan makanan di meja makan.
“Oppa! Bantu aku.” teriak Sulli, si bungsu. Aku membantunya mengaitkan gelang di tangannya. Seperti Sooyoung noona, dia sudah nampak cantik dan rapi.
“Sooyoung! Tolong oppa sebentar!” panggil Siwon hyung dari kamar.
“Kau cepat mandi sana. Ne oppa!”
Huh, sebenarnya siapa sih yang akan datang?
Selesai mandi, ku kenakan kemeja biru mudaku bersama jeans dan sepatu dengan rapi. Kulihat di meja makan juga sudah penuh dengan makanan-makanan lezat walaupun itu semua bukan masakan rumah (mengingat Sooyoung noona dan Sulli tidak bisa masak apapun selain Ramen).
“Noona, siapa sih yang akan datang?” tanyaku sambil mencomot ayam goreng. “Rahasia.” jawabnya datar.
“Ayolah noona! Siapa? Siapa? Siapa?” desakku sambil menunjukkan aegyo-ku, Sooyoung noona sangat membenci hal itu.
“Ah! Kau ini sudah seperti Sulli saja! Pacarnya Siwon oppa!” Sooyoung noona yang mulai terganggu akhirnya menyerah.
“Wah, jadi hyung punya pacar? Tapi bagaimana bisa?” aku kaget mendengarnya.
“Bodoh! Siwon oppa itu bukannya gay! Tentu saja dia bisa dapat pacar.” Sooyoung noona memukul kepalaku dengan sendok.
“Tapi kan noona tahu sendiri Siwon hyung itu orangnya bagaimana. Lagipula siapa gadis malang yang…”
“Semuanya sudah siap Sooyoung-ie?” tanya Siwon hyung yang baru keluar dari kamar. “Kalian sedang apa?”
“Annyeo hyung, aku…aku cuma melihat noona menyiapkan makanan.” jawabku gugup.
“Benarkah itu Minho?” Sooyoung noona menatapku dengan tatapan iseng.
“Choi Minho!” Siwon hyung memanggil namaku dengan suara keras.
“Y…ya hyung?” Aah, apa dia tahu aku sedang mengatainya tadi?
“Jangan memakan makanan yang sudah disiapkan! Itu kan untuk nanti!” ternyata Siwon hyung melihatku sedang memakan ayam goreng yang telah disediakan Sooyoung noona.
“Ne hyung.”
“Sebentar lagi tamunya akan datang, sekitar 10 menit lagi.” katanya sambil melirik ke jam tangannya.
***
“Tamunya sudah datang! Pacar Siwon oppa cantik sekaliiiii!!!” teriak si bungsu Sulli semangat. “Benarkah?” Sooyoung noona juga tak kalah semangat..
“Ehem!” Aku mencoba mengingatkan mereka untuk bersikap ‘normal’ karena saking gembiranya mereka, dress biru yang dipakai Sooyoung noona sampai berantakkan.
“Noona, bajumu belakangnya berantakan.”
“Minho, tolong rapikan!” pinta Sooyoung noona.
“Noona, aku kan laki-laki! Suruh Sulli saja! Apa noona tidak malu?” aku melangkah sedikit kebelakang.
“Aah, kenapa aku harus malu pada adik kecilku sendiri?” godanya. Inilah yang membuatku sering sebal padanya, dia selalu menganggapku ANAK KECIL!
“Biar aku saja onnie.” Sulli menawarkan diri. “Aigoo, uri magnae.”Sooyoung noona tersenyum manis. Kami memang terlalu memanjakan Sulli, terutama Siwon hyung.
“Adik-adik, kenalkan ini pacarku.” Siwon hyung memperkenalkan wanita yang ada disampingnya, wanita itu…
“Annyeonghaseyo, Kwon Yuri-imnida.” sapanya dengan ramah.
DUAR!
Sebuah petir kencang bergemuruh di dalam otakku. Wanita itu, Kwon Yuri, wanita yang selama ini adalah obsesi hidupku dan sekarang… dia adalah calon kakak iparku.
- END -

Please Never Say Goodbye

Jadi oppa mau pergi? Tapi kenapa?” tanya Jessica dengan berlinang air mata.
“Karena aku harus.” jawab Jay pelan.
“Harus? Harus kenapa? Apa oppa tidak bisa tetap disini?”
“Sica, aku harap kau bisa menerima keputusanku.” pinta Jaebum sambil menatap wanita yang ada dihadapannya.
“Aku bisa terima keputusan oppa untuk keluar dari 2pm, tapi tidak dengan meninggalkanku.” tangisan Sica makin menjadi.
“Maafkan aku..” Jaebum mencoba menenangkan kekasihnya itu dengan memeluknya.
“Mereka kenapa sih?” tanya Yoona pada Nichkhun dari sudut ruangan.
“Entahlah. Apa mereka bertengkar?” Nickhun balik bertanya.
“Mungkin. Sepertinya Jaebum oppa berbuat salah hingga Sica onnie menangis seperti itu.” tebak Yoona disambut anggukan dari Nichkhun.
Jaebum melepaskan pelukannya, “Aku janji aku akan terus menghubungimu. Aku pergi bukan berarti hubungan kita berakhir Sica.” kata Jaebum melepas sambil menghapus air mata dari wajah Jessica.
“Benarkah?” tanya Jessica sambil sesegukan. Jae tersenyum manis dan mengangguk. Jessica kembali menangis dan tenggelam di pelukan Jaebum.
“Tapi boleh aku minta 1 hal padamu Sica?”
“Apa?”
“Tolong jangan beritahu hal ini pada yang lain dulu ya, aku tidak mau mereka tahu dulu. Aku mau jika semuanya sudah siap baru aku akan memberitahu mereka.” pinta Jae. Jessica hanya menggangguk.
----------------------------------------------------------------------



1 bulan kemudian
“Onnie!!!” pekik Yoona dan Sooyoung dari dalam kamar.
“Hei, kalian kenapa sih?” tanya Sunny menghampiri mereka.
“Gawat! G-A-W-A-T!” Sooyung berteriak lebay.
“Gawat? Gawat kenapa?” tanya Tiffany yang sekarang sudah berdiri di pintu kamar Yoona.
“Ini..” Yoona menunjuk ke majalah yang sedang dipegangnya.
“Apa sih?” Sunny merebut majalah itu dari tangan Yoona dan membaca artikel yang terdapat di dalamnya.
“Omo!!” Sunny berteriak tapi buru-buru menutup mulut dengan kedua tangannya sendiri.
“Apa?” tanya Tiffany yang juga penasaran. Dia mengambil majalah dari tangan Sunny dan menjatuhkan majalah itu setelah membacanya.
“Ada apa?” tanya Jessica yang sudah berdiri di belakang mereka.
“Sica-ah, i..ini..” Fany dengan gugup memungut dan memberikan majalah itu pada Sica. Jessica melihat dan membaca dengan cermat berita yang ada di dalamnya.
“Oh, ini.” katanya cuek dan memberikan majalah itu lagi pada Tiffany kemudian berjalan keluar.
“Loh, kok?” Sooyoung, Yoona, Sunny dan Tiffany terbengong melihat tingkah laku Sica yang biasa-biasa saja.
“Kalian tunggu disini dulu.” ujar Yoona dan beranjak dari kasurnya.
“Onnie.” panggil Yoona pada Jessica yang sedang duduk di dekat jendela.
“Oh? wae?”
“Onnie tidak apa-apa?”
“Ehm. Memangnya aku kenapa?” tanya Jessica sambil mengangkat alisnya.
“Itu, Jaebum oppa..”
“Aku sudah tahu lebih dulu, kau tidak perlu khawatir.” Sica memotong ucapan Yoona.
“Onnie…”
“Yoona-ah, kami berdua sudah membicarakan tentang hal ini dan aku tidak apa-apa, sungguh.” Sica mencoba meyakinkan Yoona.
“Ah, chinja? Syukurlah kalau onnie tidak apa-apa, aku hanya cemas saja.”
“Gwencanha.” Sica mengelus pipi Yoona dan kembali menatap ke arah luar jendela.

------------------------------------------------------------------------------------
-7 bulan kemudian-
“Kulihat akhir-akhir ini Sica sering murung sendiri. Aku jadi cemas.” bisik Hyoyeon kepada Taeyeon. “Aku juga. Mana dia tidak mau makan. Badannya hanya tinggal tulang begitu.” Taeyeon terdengar tak kalah cemasnya.
“DOOOR!”
“Aigoo!”
“Omma!”
“Kalian sedang apa?” tanya Sooyoung tanpa wajah bersalah sedikitpun.
“Kau ini!” omel Taeyeon dan Hyoyeon.
“Aaah, Jessica.” angguk Sooyoung mengerti.
“Kasihan Sica.” ujar Hyoyeon prihatin.
“Andai saja ada yang bisa kita lakukan.” sahut Taeyeon.
“Hei, kita bisa melakukan sesuatu!” ucap Sooyoung yang tiba-tiba mendapatkan ide.
“Apa?” tanya Taeyeon dan Hyoyeon serentak.
“Kita kumpulkan dulu yang lain.
----------------------------------------------------------------------------------



Di kamar Taeyeon
“Oh, jadi itu rencananya,” Yuri menganguk mengerti.
“Tapi bagaimana? Kita kan tidak tahu bagaimana cara menghubunginya.” keluh Seohyun.
“Kalau soal itu gampang, aku bisa minta ke Khun oppa.” Yoona mengambil handphone-nya dan memencet beberapa digit angka.
“Kau mau menelponnya?? tanya Sunny. Tidak, aku minta lewat sms saja, habis kalau ketahuan Sica onnie bisa gawat nanti.” jelas Yoona, yang lain mengangguk.
“Dibalas!” pekik Yoona pelan.
“Dapat nomornya?” tanya Sooyung dengan wajah penuh harap.
“Ehm.” Yoona mengangguk lalu mendekatkan handphone ke telinganya.
“Yeobseyo? Jaebum oppa.”
--------------------------------------------------------------------------------

-1 bulan kemudian-
“Sica.” panggil Yuri pelan, tapi cukup untuk mengagetkan Jessica.
“Oh. Kau mengagetkanku Yul.” Sica mengelus-elus dadanya karena kaget.
“Mianhae. Sica-ah, kau menangis lagi?” tanya Yuri dan menghapus airmata Sica.
“Aku tidak apa-apa kok.” Sica menyingkirkan tangan Yuri dan menghapus sendiri air matanya.
“Kenapa? Kau ingat Jaebum oppa lagi?” tanya Yuri. Sica terdiam dan memandang lurus keluar jendela.
“Jendelanya bisa bolong karena kau tatap terus.” goda Yuri mencoba menghibur sahabatnya ini, Sica hanya tersenyum simpul.
“Rasanya sudah lama sekali Yul.” ucap Sica pelan, nyaris seperti bisikan.
“Hah? Lama apa?”
“Iya, rasanya sudah lama sekali semenjak dia pergi.”
“Bukankah kalian tetap berhubungan?”
“Berhubungan lewat telpon tidak cukup bagiku Yul. Aku ingin melihat wajahnya, aku ingin mendengar suaranya, aku ingin memeluknya seperti yang selalu kulakukan ketika aku takut.” ucap Sica sambil menangis lagi.
“Sica-ah..” Yuri mendekat ke Sica dan memeluk Sica dari samping. “…kau memiliki aku. Kau bisa memelukku jika kau takut.” suara Yuri juga ikut-ikutan parau.
“Aku rindu dengannya Yul, aku ingin melihatnya sekali saja…” ucap Sica dalam tangisan.
“Aku tahu. Kau pasti amat merindukannya kan?” tanya Yuri, Sica mengangguk.
“Sebaiknya kau bersabar dan terus berdoa agar Jaebum oppa bisa kembali ke Korea secepatnya.” Yuri mengusap-usap kepala Jessica dengan lembut.
“Aku selalu bersabar dan berdo’a Yul, tapi kapan semua doa-doa ku akan terjawab? Aku tidak ingin apa-apa, aku hanya ingin dia disini. Aku merindukannya Yul..” tangis Sica semakin menjadi, Yuri memeluknya semakin erat.
“Sica-ah…” sebuah suara merdu memanggil namanya, suara yang amat ia kenal. Jessica berhenti menangis dan melepaskan pelukan Yuri secara perlahan. Dia mengangkat kepalanya untuk melihat sosok yang amat sangat dirindukannya.
Sebuah senyum manis yang lama tak terlihat sekarang tergambar jelas di wajahnya. Matanya seakan memancarkan cahaya terang yang indah. Jessica secara perlahan berdiri dari sofa yang dari tadi didudukinya.
“Oppa..” suaranya terdengar gemetar. Dia berjalan pelan-pelan menghampiri sosok yang ada di depan matanya. 2 meter..1.5 meter…1 meter…50 centi…20 centi… 10 centi…
Tubuh mereka semakin dekat. Mata Jessica berkaca-kaca. Tangannya naik dan mengelus lembut wajah kekasih yang sudah lama tidak di lihatnya.
“Ini benar… Ja.. Jaebum op..pa?” tanyanya seakan tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya sekarang. Jaebum mengangguk.
“Kau benar… Park Jaebum? Ini bukan, ini bukan mimpiku saja kan?” tanya Sica lagi. Jaebum semakin mengembangkan senyumannya dan merangkul Jessica masuk ke dalam pelukannya. Di peluknya erat-erat wanita yang hampir 8 bulan tidak di temuinya.
Jessica sendiri yang masih shock tidak membalas pelukan Jaebum.
“Lepas.” ucapnya pelan.
“ehm? mworago?” tanya Jaebum lembut.
“Lepas. LEPASKAN AKU!” Jessica berteriak kencang dan menjauh dari Jae.
“Sica, kau kenapa?” tanya Yuri dan yang lain yang ternyata sudah dari tadi berdiri di belakang.
“Suruh dia pergi! Aku tidak mau melihat dia ada disini!” Jessica kembali berteriak histeris.
“Onnie. Itu Jaebum oppa.” Yoona mencoba menenangkan Sica.
“Arro! Suruh dia pergi! Aku tidak mau melihatnya!”
“Sica-ah, aku mohon jangan begini.” pinta Jaebum yang sudah menangis. Dia mencoba mendekati Sica akan tetapi gadis itu tetap saja bergerak menjauh darinya.
“Sica-ah, bukan kah kau bilang kau rindu padanya?” tanya Yuri.
“Sica-ah…” Jaebum kembali memohon.
“Kau! Untuk apa kau datang kesini? Belum cukup kau menyiksa perasaanku?” tanya Jessica masih dengan nada tingginya.
“Aku kesini untuk menemuimu.” jawab Jae lembut.
“Menemuiku? Lalu setelah itu kau akan pergi lagi?”
“Sica-ah…”
“Lihat! Kau akan pergi lagi kan?”
“Sica-ah, aku…”
“Aku sudah menunggumu selama 8 bulan. Apa kau tahu bagaimana perasaanku? Aku cemas, AKU CEMAS PARK JAEBUM! Apa kau tahu itu?” tangisannya semakin menjadi.
“Sica aku.. aku minta maaf telah membuatmu cemas.”
“Kau tidak tahu seberapa menderitanya aku disini selama kau tidak ada.” Jessica jatuh terduduk sambil tetap menangis.
“Sica, aku minta maaf.” Jaebum menghampiri Jessica dan memluknya erat.
“Aku janji aku tidak akan pernah membuatmu menderita lagi. Aku janji tidak akan membuatmu menunggu lagi.” ucap Jaebum pelan. Dia mengecup lembut kepala Sica yang masih tertunduk menangis.
“Dan aku janji aku tidak akan meninggalkanmu lagi.” Jessica berhenti menangis. Kepalanya terangkat dan memandang Jaebum serius. ”Benarkah?” tanya Jessica sesegukan, Jaebum mengangguk.
“Oppa tidak akan meninggalkanku lagi?” Jaebum mengangguk lagi.
“Aku tidak akan meninggalkanmu bahkan aku berjanji akan melakukan apapun yang kau mau.” ucap Jaebum sambil tersenyum.
“Kalau begitu bisa aku minta satu hal?”
“Apa?”
“Please never say goodbye.” pinta Sica.
Jaebum tersenyum dan mengecup kening Sica, “I will never say goodbye.”


-end-

Happiness Part 1

Aku memasang wajah setenang mungkin. Dengan hati berdebar aku menunggu giliran namaku di panggil. Walaupun tegang namun aku berusaha sekuat mungkin untuk tetap terlihat biasa-biasa saja. Ku lirik dia yang juga duduk di sebelahku.
Ekspresinya dingin, amat dingin. Dia hanya memandang lurus kedepan. Setelan jas hitamnya seakan-akan menambah tampilan dinginnya menjadi semakin kuat.
“Ny. dan Tn. Yoon diharap maju kedepan.” begitulah kira-kira nama kami dipanggil. Karena sudah terlalu tegang aku tidak dapat mendengarnya dengan jelas.
Aku bangkit dari tempat dudukku dan menyempatkan diri untuk melirik lagi ke arahnya tapi dia sama sekali tidak melihatku.
Dia berjalan kedepan di dampingi dengan pengacaranya, sama halnya denganku. Kami berdua duduk bersebrangan, dia di sudut kanan ruangan sedangkan aku disudut kiri.
“Baiklah, selamat siang para hadirin. Mohon maaf atas semua keterlambatannya namun sidang sudah bisa kita mulai sekarang. Kepada penggugat, kami persilahkan untuk mengajukan hal-hal yang menurut Anda perlu diajukan.” ujar pak Hakim.
Aku berdiri walaupun tanganku tetap berpegangan pada pinggir-pinggir meja.
“Selamat siang. Ehm… Siang ini saya, Kim Hyoyeon, mengajukan gugatan cerai pada suami saya, Yoon Dojoon.” aku meliriknya lagi tapi tetap saja ekspresinya masih bertahan seperti tadi.
“Gugatan yang saya ajukan berdasarkan atas sudah tidak terdapatnya persamaan dan kecocokan di antara kami.” aku kembali duduk setelah selesai membacakan gugatanku.
“Hanya itu?” tanya Hakim lagi.
“Ya, hanya itu.” jawabku pelan.
“Apa kah Anda tidak mau memikirkan ulang mengenai keputusan ini?”
“Saya rasa keputusan saya sudah bulat, pak Hakim.” jawabku tegas.
“Baiklah. Kepada pihak yang digugat harap mengutarakan pendapat Anda mengenai perihal ini.”
Alih-alih dia yang berdiri malah pengacaranya yang berdiri dan menanggapi gugatanku.
“Klien saya tidak berkomentar apa-apa. Beliau hanya menyerahkan semua keputusan pada pak Hakim dan pihak penggugat.”
Apa? Dia bahkan tidak mengiyakan atau menolak? Dia tidak memberikan respon apapun?
“Kalau begitu, sidang hari ini kita akhiri disini. Untuk keputusan lebih lanjut akan kita adakan di sidang selanjutnya 1 bulan lagi.” ujar Hakim dan mengetok pau sebanyak 3 kali. Aku berjalan lemas keluar didampingi oleh pengacaraku.
“Ny. Yoon! Bisa kita bicara sebentar?” tanya Hakim yang tadi. Aku menatapnya heran namun aku menyanggupi permintaannya tadi.
Dia mengajakku masuk ke ruangannya dan betapa terkejutnya aku ketika melihat Dojoon sudah ada disana. Dia juga nampak kaget tapi dengan gampang berhasil menguasai ekspresinya kembali dingin.
“Alasan saya mengajak Anda kesini adalah…” katanya setelah kami semua duduk berhadapan. “…saya merasa Anda berdua terlalu gampang menyerah dalam pernikahan. Apa Anda berdua yakin tidak ingin mempertahankan atau memperbaiki rumah tangga kalian? Terutama Anda, Doojoon-ssi. Dari awal Anda tidak pernah mengatakan apa-apa. Bisakah saya mendengar pendapat Anda pribadi mengenai hal ini?”
Aku menatap Dojoon dengan lama, berharap setidaknya dia mengatakan 1 kata saja. Dia mengangkat wajahnya tapi tidak menatapku. Ya Tuhan! Dari samping aku bisa melihat matanya memerah.
“Saya rasa saya tidak perlu menyanggah apa-apa. Jika menurutnya ini yang terbaik, saya harus menerimanya.” jawabnya pelan.
“Bagaimana menurut Anda sendiri, Hyoyeon-ssi?”
Aku tidak langsung menjawab pertanyaannya. Sesaat aku ragu, apakah yang kuputuskan ini benar?
“Saya…”
“…”
“…saya rasa saya sudah mengambil keputusan yang terbaik.” jawabku.
“Saya masih bisa melihat keraguan yang kuat dari diri Anda berdua. Anda berdua masih muda, ego dan emosi kalian memang bisa menjadi momok yang menakutkan dan berakibat fatal. Dan saya mohon Anda mengingat hal ini, Anda berdua sudah memiliki seorang putri. Setidaknya Anda bisa memikirkan hal ini lagi, bukan hanya untuk Anda berdua saja melainkan untuk putri Anda. Apa Anda tidak merasa kasihan dengan nasib putri Anda nantinya?”
Aku hanya bisa menunduk. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Wajahku panas, mataku perih, tanganku bergetar dan tubuhku serasa lemas.
Perlahan Doojoon menggenggam tanganku secara lembut namun buru-buru kutangkis. Aku tidak mau goyah! Ini adalah keputusan yang sudah kupikirkan sejak berbulan-bulan lalu.
“Saya mohon Anda berdua bisa menimbang-nimbang kembali kata-kata saya barusan. Kalau begitu sampai jumpa bulan depan walaupun saya tidak harap bertemu dengan Anda berdua lagi setelah ini.” ujarnya sopan kemudian kami berjabat tangan dan meninggalkan ruangan tadi.
“Kenapa kau tidak berkata apa-apa?” tanyaku dingin setelah berada diluar.
“Kau mau aku berkata apa? Kau mau aku bilang ‘saya juga ingin cerai’?” balasnya tak kalah dingin.
“Setidaknya kau berkata satu kata saja! Kau membuatku seperti orang bodoh di dalam sana!”
“Kau tahu kan kalau aku tidak mau bercerai! Ini semua kehendakmu jadi kenapa aku harus repot-repot mencari alasan untuk bercerai?” jawabnya tak kalah keras.
“Kenapa kau susah sekali? Kita sudah tidak cocok jadi untuk apa lagi bertahan?”
“Kau tanya kenapa aku bertahan? Kau tanya kenapa aku susah untuk menceraikanmu? Aku sedang mempertahankan keluarga kita! Apa kau tidak mengerti?” bentaknya. Selama 5 tahun menikah baru kali ini dia membentakku dengan keras. Doojoon yang kutahu tidak seperti ini, tidak seperti perilakunya hari ini.
“Apa kau tidak pernah memikirkan perasaanku? Memikirkan perasaan Yoojin? Perasaan orang tua kita? Semudah inikah kau memutuskan untuk bercerai? Apa yang ada di otakmu, Kim Hyoyeon? Aah!!” dia berseru kencang dan berjalan meninggalkanku.
“Asal kau tahu, sampai kapanpun aku tidak akan pernah menyetujui perceraian ini!” dia berteriak dari jauh.
Perlahan aku merosot dan terduduk di lantai. Seluruh kekuatan yang kusimpan selama berbulan-bulan lalu terasa lenyap begitu saja. Air mataku jatuh karena emosiku meluap.
Tuhan, apa memang kau tidak merestui jalan yang kupilih sekarang? Kenapa terasa begitu sulit?
***
Hari sudah gelap ketika aku sampai di rumah. Rumah besar ini terasa begitu sepi dan kosong. Sepertinya semua orang sudah tidur.
Aku berjalan ke lantai atas dan mengecek kamar dan ruang kerja Doojoon, kosong. Tandanya dia menginap di kantor lagi malam ini.
Kemudian aku berjalan menuju kamar Yoojin yang berada di ujung. Kubuka pintunya dengan pelan karena takut membangunkannya.
Dia sudah tertidur pulas di ranjangnya. Disamping ranjang terlihat kakakku Taeyeon terbaring pulas.
“Onnie.” aku menyentuh pundaknya berharap dia terbangun.
“Oh? Hyoyeon-ie? Kau sudah pulang?” ujarnya pelan sambil mengusap-usap matanya.
“Ehm. Onnie lebih baik tidur di kamar saja, biar aku yang jaga Yoojin disini.”
“Baiklah. Tapi kau sudah makan? Mau kupanaskan lauk?”
“Annyio, tidak perlu. Aku mau langsung tidur.”
“Kalau begitu aku ke kamarku dulu, kalau perlu apa-apa panggil saja aku ya.” Aku mengangguk dan diapun menutup pintu kamar.
Kuletakkan kepalaku di pinggir kasur dan kubenamkan wajahku.
“Eotekke? Apa yang harus ku lakukan? Apa yang harus kuperbuat? Yoojin-ah, tolong ibu! Beritahu ibu apa yang harus ibu lakukan.” entah sudah gila atau apa aku terus menangis. Aku…aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.
***
Taeyeon’s POV
Aku mendengar tangisan Hyoyeon, benar-benar mengiris hatiku. Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat untuk mengurangi rasa sakitnya. Sebagai kakak aku merasa benar-benar tidak berguna. Ya Tuhan, hentikanlah cobaan yang Kau berikan untuk adikku.
Hyoyeon-ah, tegarlah!
***
Doojoon’s POV
Malam ini aku kembali tidur di kantorku. Aku benar-benar benci keadaan seperti ini. Aku ingin keadaan kembali seperti dulu lagi, kembali disaat 5 tahun yang lalu dimana setiap malam aku tidur di sampingnya, memeluknya. Keadaan dimana setiap aku membuka mata hal yang pertama kulihat adalah dirinya.
Aku rindu mencium harum wangi aroma tubuhnya, melihat senyumnya yang seperti anak-anak, mendengar ocehan tiap pagi yang sudah pasti akan membangunkanku dari mimpi buruk dan membawaku ke dunia yang begitu indah.
Tapi apa semua itu tidak dapat kembali lagi? Apa semua itu sekarang hanya tinggal kenangan? Apa aku…tidak bisa merasakan apa yang mereka sebut bahagia?

-TBC-

Jumat, 04 Maret 2011

Oh! My Goddess 2PM Nichkhun – SNSD Yoona Romance

Dia amat cantik. Kecantikannya membuat semua orang terpesona, sosoknya yang riang, kulit yang memancarkan sinar matahari yang dapat membuat semua orang merasa teduh.
Jika menjadi sempurna adalah dosa maka aku amat yakin dia pasti akan menjadi dosa terindah dimuka bumi ini. Hanya dengan sekali tatapan aku tahu bahwa dia adalah dewi yang diturunkan Tuhan ke bumi. Senyumnya, tawanya bahkan tangisannya semua sempurna.
Aku. Ya, sepertinya dia sudah mengambil hatiku lalu mengisinya dengan bayang-bayang wajah cantiknya. Ketika melihatnya tersenyum jantungku terasa berhenti, ketika dia tertawa maka mataku seakan ingin meloncat dari tempatnya.
Dialah yang bisa membuatku tersenyum walaupun aku kehilangan salah satu anggota tubuhku, dialah yang bisa membuatku tersenyum sepanjang hari seperti orang gila dan yang lebih parahnya lagi, gadis itu… dia milikku.
“Oppa!” dia berteriak tepat di depan wajahku.
“O..oo… Kenapa?” aku yang baru sadar jadi gugup.
“Oppa yang kenapa! Dari tadi aku memanggilmu kau hanya bisa melamun.” dia mencibirkan bibirnya. Ya Tuhan, bahkan pada saat seharusnya manusia menjadi jelek dia tetaplah cantik seperti bidadari.
“Mianhae Yoona-ah.” aku mencubit pelan pipi yang digembungkannya.
“Oppa sedang berpikir apa? Pasti memikirkan wanita lain? Iya kan?” tuduhnya. Mata tajamnya mampu membuat jantungku bergerak seperti roda kendaraan yang berputar di atas kecepatan 200 km/jam.
“Iya kan??” dia kembali cemberut.
“Aku tidak memikirkan wanita lain, aku hanya…” sengaja kugantungkan kata-kataku untuk melihat reaksinya.
“Hanyaaaa…” dia mengulang kata-kata ku. Aku tersenyum geli melihat ekspresi wajahnya yang luar biasa lucu, dia seperti anak kecil yang berusia 5 tahun. Karena gemas maka kukecup kening sebentar.
“OPPA!! Kenapa kau mencium kening?” teriaknya protes.
“Wae? Kau kan pacarku jadi aku berhak menciummu kapanpun aku mau.” kujulurkan lidahku kearahnya.
“Dengar ya Nichkhun Buck Horvejkul! Aku bukan wanita yang bisa kau perlakukan seenaknya. Kalau kau mau memeluk atau menciumku maka kau harus minta izinku terlebih dulu!” terangnya. Harus kuakui, aku amat suka wanita berprinsip sepertinya.
Aku hanya bisa menundukkan kepalaku menahan tawa. Dia benar-benar menggemaskan.
“Oppa, apa yang lucu?”
“Kau Yoong, kau amat menggemaskan.” kucubit pipinya dengan lembut.
“Oppa, kenapa kau suka sekali mencubit pipiku?”
“Karena kau menggemaskan.” jawabku dengan kepala bertumpu di tangan kiriku.
Dia menatap mataku, mendekatkan kepalanya ke arahku. Bisa kulihat dia menutup matanya ketika bibir lembutnya bersentuhan dengan dahi ku
Kecupan itu hanya sebentar, mungkin tidak sampai 5 detik namun hal itu mengakibatkan wajahnya merah seakan dia memakai make-up yang tebal.
Aku tersenyum melihat tingkahnya. Selama berpacaran baru kali ini dia menciumku terlebih dulu, seperti kataku sebelumnya, dia wanita yang memiliki prinsip.
Kudekatkan wajahku dan kutempatkan kedua tanganku di kepalanya. Dia menutup matanya dan terlihat gugup. Kucium keningnya dan kali ini lebih lama dari sebelumnya. Aku bisa merasakan nafas hangatnya ketika wajah kami berdekatan. Rambut nya wangi dan kulitnya selembut kulit bayi.
Terasa lamaaaa sekali baru kulepaskan . Dia membuka matanya dan menatapku sambil tersenyum lembut.
“Yoona-ah..” panggilku pelan. Dia tidak menjawab apa-apa melainkan hanya memberikan tatapannya padaku.
“Mau kah kau menikah denganku? Menjadi istriku dan menghabiskan sisa hidupmu bersamaku? Menjadi pendamping ketika aku susah maupun senang? Mengurusku saat aku sakit dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak?”
Dia melebarkan matanya setelah mendengar ucapanku. Aku tidak pernah menyangkan kalau kata-kataku barusan menyebabkan matanya merah dan berair. Dia… dia terharu.
“Yoona-ah?”
Dia mengangguk kencang lalu memelukku. “Aku mau oppa, aku mau.”
Kulepas pelukannya, kukecup keningnya lalu kupeluk tubuh yang besarnya kurang lebih hanya setengah dari ukuran tubuhku.
Aku memeluk tubuhnya dengan erat seakan takut kehilangan dirinya. Pundaknya amat nyaman walaupun berukuran kecil. Aku memejamkan mataku dan membisikkan kata di telinganya, “gumawo Yoona Horvejkul. Terimakasih, my goddess.”
-END-