Ika Land's

Ika Land's
Right Now

Kamis, 17 Maret 2011

Happiness Part 2

uuuft.. udah lama yak rasanya gak update.. -.- #makluum.. sibuk XD
aku mau lanjutin cerita "Happiness" ku aja :D
capcuuuusz --------------------->

7 tahun yang lalu
“Aah! Chinja! Dasar senior goblok! Buat apa dia menyuruhku bawa buku sebanyak ini? Dia pikir aku, AAH!” seorang gadis berkacamata terjatuh dengan buku mengelilinginya.
“Mianhae… Mianhae…” lelaki yang menabraknya tadi buru-buru bangun dan membantu gadis yang ditabraknya tadi untuk berdiri.
“Aish! Kau jalan tidak pakai mat..” kata-katanya terhenti ketika melihat wajah lelaki yang ada didepannya.
“Mianhae. Tadi aku buru-buru jadi tidak terlalu memperhatikan jalanku.” dia membungkukan badannya untuk memungut buku yang berceceran.
“Ah, kacamatamu.” lelaki tadi menunjuk jam tangan pevah yang dipakai gadis tadi.
“Oh? Aah! Eotekke? Kacamataku.. Aish!” rutuknya.
“Mianhae. Bagaimana kalau aku ganti?”
“Tidak perlu!” ujar gadis itu ketus kemudian mengambil buku dari tangan lelaki tadi dengan kasar.
***
“Aah! Bagaimana aku pulang! Aku tidak bisa melihat. Molla! Onnie jemput aku! Yeobseyo? Yeobseyo? Onnie? YA KIM TAEYEON!! Aah!” gadis itu menutup handphonenya dengan keras. Tidak hanya itu, dia juga menendang ban mobilnya.
“Jhogi…”
“WAE?”
“Ehm, kau masih ingat aku?”
“Kau siapa?”
“Aku lelaki yang tadi pagi menabrakmu.”
“Oh.”
“Kau kenapa marah-marah?” tanya pria tadi
“Aku tidak bisa pulang!” jawab gadis itu masih dengan nada ketusnya.
“Wae?”
“Mana bisa aku menyetir tanpa kacamata?” jawabnya ketus. Mendengar kata-kata gadis tadi lelaki itu terkekeh.
“Wae? Ada yang lucu?”
“Annyi. Kalau kau tidak keberatan aku bisa mengantarmu pulang.”
“Meninggalkan mobilku disini? Shiro!”
“Anyyi. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil jadi aku bisa mengantarmu dengan mobilmu. Otte?”
Gadis itu diam sebentar. Dia terlihat menimbang-nimbang perkataan lelaki tadi.
“Baiklah.” dia menjawab singkat dan memberikan kunci mobil kepada lelaki itu.
“Rumahmu dimana?”
“Tidak jauh dari sini.” jawabnya.
“Kita belum berkenalan, aku Yoon Doojoon.”
“Aku Kim Hyoyeon.”
***
2 tahun kemudian
“Hyoyeon-ah, kau benar-benar cantik malam ini.” bisik seorang pria pada kekasihnya.
“Hanya malam ini?” balas gadis bertubuh mungil itu.
“Annyi, sejak kau lahir hingga saat ini kau amat cantik.”
“Apa kau sudah pernah melihatku ketika aku bayi? Pabo!” dia menjitak lembut kening kekasihnya sambil tertawa.
“Hyoyeon-ah…”
“Wae?” jawabnya lembut. Lelaki itu berjongkok sambil mengeluarkan sebuah kotak dari tuksedo yang dikenakannya. “…maukah kau menikah denganku?”
***
Aku terbangun karena kepalaku terhantuk meja. Ah, aku tidur dengan posisi ini lagi. Pinggang serta punggungku terasa sakit, tanganku juga nyeri karena tertekan kepala.
Aku berdiri dan merenggangkan badanku serta berjalan ke arah jendela. Kulihat masih ada banyak kendaraan yang berlalu lalang walaupun tidak seramai siang hari.
Tempat ini, terakhir kali aku berdiri disini setelah aku bertengkar hebat dengan Hyoyeon.
Flashback
Beberapa bulan yang lalu
“Kau kemana saja? Dari tadi aku menelponmu.” katanya pelan namun tatapan matanya menusuk.
“Aku baru saja keluar dari ruangan meeting jadi aku tidak tahu kau dari tadi menelponku.” jawabku pelan dan menghempaskan tubuhku di kursi besar dan melonggarkan sedikit ikatan dasiku.
“Kapan kau pulang?” tanyanya lagi, kali ini melembut.
“Aku tidak tahu, pekerjaanku masih banyak.”
“Kau tahu, pekerjaan tidak akan pernah habis kalau mau dituruti. Yoojin terus menanyakanmu, kau pulang denganku ya.” pintanya.
“Aku tidak bisa. Kalau aku pulang siapa yang akan meng-handle pekerjaan ini?”
“Jadi bagimu pekerjaan lebih penting daripada keluargamu?” tanyanya dingin.
“Aku tidak bilang begitu.”
“Tapi maksud dari kata-katamu begitu.”
“Kau ini sedang bicara apa sih? Aku bekerja juga untuk keluarga kita kan?”
“Aku tahu! Tapi aku dan Yoojin tidak pernah memintamu ‘berkorban’ segini besarnya untuk keluarga kita.” dia menekankan kata ‘berkorban’.
“Terserah kau saja lah!” dia mengambil tas dan mantelnya lalu keluar dari ruang kerjaku.
Aku ingin saja mengejarnya tapi semua pekerjaan yang merupakan tanggung jawabku ini seakan sudah memanggilku untuk menghampiri mereka.
Flashback end
Aku melirik jam tanganku. Sudah jam 8 pagi. Aku merasa malas sekali untuk kerja hari ini. Tubuhku, ah salah, batinku terasa amat lelah. Walaupun sudah tidur tapi nampaknya tidur di kursi bukanlah hal yang cukup.
Tok Tok!
“Hyung, kau mau kubawakan sarapan?” kepala Gikwang muncul dari balik pintu.
“Tidak. Aku mau pulang saja.”
“Pulang?” dia terlihat heran. Aku sendiri juga heran kenapa kata ‘pulang’ tiba-tiba keluar dari mulutku.
Melihatku bengong Gikwang hanya mengangkat bahu dan berkata, “Ya sudah. Salam untuk Hyoyeon noona ya.” Setelah mengatakan hal itu dia menghilang dari balik pintu.
Ya sudahlah, mungkin memang sebaiknya aku pulang.
***
Aku memasukan mobilku ke garasi dan kulihat mobil Hyoyeon masih terparkir disana, sepertinya dia ada di dalam.
Aku masuk ke rumah yang menurutku hawa dan suasananya berbeda dari beberapa bulan yang lalu. Rumah yang besar dan terbilang megah ini seperti rumah tak berpenghuni. Aku naik ke atas dan kamar Yoojinlah yang menjadi tujuan utamaku.
Kuintip dengan menjulurkan kepalaku ke dalam dan kulihat kamarnya sudah bersih dan tidak ada orang. Tentu saja! Yoojin saat ini pasti sedang ada di sekolah (Play Group kalo ada).
Setelah itu aku berlanjut ke ruang kerjaku. Kosong dan tetap rapi. Aku tidak masuk ke ruang itu melainkan berjalan masuk ke kamarku dan Hyoyeon.
Aneh. Kenapa kamar ini juga kosong? Kemana Hyoyeon?
Aku membuka lemariku dan mengambil satu stel piyama karena aku berencana untuk tidur namun sebelumnya aku ingin mandi terlebih dulu karena badanku terasa lengket.
“AAAAAAHHH” suara teriakan keras terdengar dari belakangku. Kubalikkan badanku dan kulihat Hyoyeon yang berbalut handuk tengah menjerit seperti melihat sosok hantu.
“Sedang apa kau disini?” tanyanya dan mundur beberapa langkah.
“Ini rumahku jadi tentu saja aku ada disini.” jawabku singkat.
“Mau apa kau kesini?”
“Hyoyeon-ah, aku lelah. Bisakah kita bicara nanti saja?” ujarku dan berjalan masuk ke kamar mandi.
“Mau apa kau? Jangan mendekat!” ancamnya. Karena aku hendak masuk ke kamar mandi jadi jelas aku berjalan mendekatinya.
“Jika kau sudah lupa aku akan mengingatkanmu! Kita sedang dalam proses perceraian!”
“Hyoyeon-ah, kenapa harus takut? Aku ini masih suamimu dan akan menjadi suami mu untuk selamanya. Aku hanya ingin masuk kamar mannnn…” aku terpeleset ketika berjalan dan secara tidak sengaja menabrak dan menindih tubuhnya.
“Aaaww…” dia meringis kesakitan. Bagaimana tidak? Badannya yang mungil dan hanya berbobot 45 kg-an ini tertindih bedanku yang besarnya 1.5 kali lipat.
“Mianhae.” ujarku dan mengangkat wajahku dari lantai. Tanpa sengaja mata kami bertemu. Aku selalu suka melihat Hyoyeon setelah dia habis mandi. Bukannya pervert tapi wajahnya yang tidak terkena sentuhan make-up amatlah mengagumkan.
Tanpa kusadari wajahku memerah dan tentu saja berubah panas. Pikiranku mengatakan untuk buru-buru berdiri namun nampaknya tubuhku tidak berkata seperti itu.
Kutatap dia lekat-lekat kemudian kudekatkan wajahku ke wajahnya. Semakin dekat… 15cm… 12cm… 9cm… 5cm…
Kurasakan nafasnya yang hangat dan kemudian matanya menutup. Kucium bibirnya dengan lembut dan dia tidak menolak. Nafasnya agak tersengal-sengal namun dia membalas ciumanku.
Setelah agak lama kami melepaskan ciuman kami dan kembali bertatapan. Entah sadar atau apa dia tiba-tiba mendorong tubuhku dan buru-buru berdiri.
“Hyoyeon-ah, kau masih mencintaiku kan?” ujarku pelan. Masih tidak ada jawaban darinya. “Aku tahu kau masih mencintaiku! Kalau tidak mana mungkin kau…”
“Itu hanya ciuman, Yoon Doojoon. Bukan berarti aku mau kembali padamu.” potongnya.
“Kenapa sulit sekali bagimu untuk mengakui bahwa kau masih mencintaiku? Bahwa jauh di dalam lubuk hatimu kau masih ingin memperbaiki rumah tangga kita?” aku menghempaskan tubuhku dan duduk di pinggir kasur.
“Apa kau tidak memikirkan Yoojin? Apa kau mau anak kita tumbuh dengan orang tua yang terpisah?”
“Bukan itu yang aku mau!” dia membalikkan badannya menghadapku. “Semua sudah terlambat. Rumah tangga kita tidak bisa diselamatkan.” ucapnya putus asa.
Kutarik pergelangan tangannya dan kupeluk tubuhnya dengan erat. Meskipun sifatnya saat ini dingin namun tubuhnya tetap hangat, ini lah yang kusuka darinya.
Kutempelkan kepalaku ke perutnya karena posisiku saat ini duduk dan dia berdiri.
“Aku mohon dengan sangat, batalkanlah gugatan ceraimu. Aku masih ingin membina keluarga denganmu, melihat anak-anak kita besar nantinya, memiliki banyak cucu dan menghabiskan sisa hidupku dengan adanya kau disampingku. Kau tahu? Tanpamu aku tidak bisa hidup.” aku berkata dengan air mata yang mengalir deras di pipiku.
Kueratkan lagi pelukanku yang mungkin menyebabkannya sulit utnuk bernafas. Perlahan aku merasa sebuah tangan mengelus kepalaku dengan lembut.
“Benarkah yang kau bilang itu?” tanyanya dengan suara sedikit terisak. Aku melonggarkan pelukanku dan mendongakkan kepalaku. Kulihat dia juga sudah menangis, sama sepertiku.
Aku berdiri dan melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya.
“Aku janji akan menempatkan keluarga sebagai yang utama melebihi pekerjaanku.”
“Aku tidak ingin kau menyia-nyiakan keluarga lagi!” balasnya.
“Aku janji!” kami berdua tersenyum dan kucium lagi bibirnya. Kurasakan air mata mengalir di bibirku. Bukan. Bukan airmata ku melainkan airmatanya.
Kupeluk tubuhnya dengan erat lalu kubisikkan sesuatu, “aku juga ingin memiliki banyak anak.”
“Keke~ Memangnya berapa anak yang kau inginkan?”
“10 lagi.”
“Kau ingin membentuk tim sepak bola?”
“Iya.”
“Lalu?”
“Ayo kita buat anak sekarang.” aku mengedipkan sebelah mataku dan menurunkan handuk yang dipakainya.


-END-

weew.. baru part 2 udh tamat.. ~tungguu cerbung yang lain yak :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar